Kedamaian Yang Belum Pasti
Kubisukan angin yang menertawakan daun anggrek
Sekian malam dikau mengkritisi sajak-sajak tentang anggrek
Dan kubiarkan kodok menjadi separuh hidupnya
Melenyapkan sepi, melepas sunyi lalu menabur bahagia
Di taman yang belum direstui, dikau
Serupa desir pasir hilang di bibir pulau
Hanya saat ini kedamaian berada ditangan dewi samudra
Yang mengembalikan ombak menjadi ada dan tiada
MALAM DI KOTA KARYA
Semula aku ingin menutup rangkuman dari kilas kota kecil, bermalam sendiri, hingga musik mulai terhenti
Kemudian aku berjalan, sejajar dengan roda-roda becak yang berputar pelan
Langkah awan menyiumi jidat-jidat penyair jalanan
Sesekali tumbuh jiwa-jiwa yang kerdil, lalu melepas dan menyimak arah awan pergi
Ketika semua terasa mengambang, jatuh pelan di pot-pot kayu, aku sendiri
Bercerita pada rak buku yang memandang pedih, lalu aku sesekali
mendengar jam mengatakan malam merangkak pagi
Dan kusimak awan, pot-pot kayu pada malam
Mungkinkah aku harus menyinggung dan menyudahi
Atau memang aku sudah digenggam dan terhenti ketika pagi?
Lalu kenapa mereka tak mendiamkan jarum emas di balik jam kristal kuno itu?
Apa aku harus berjalan lalu menyimak awan
Yang mengatakan, kau telah digenangi jiwa-jiwa kerdil?
OKTOBER MEMERAH SEPI
Oktober, kalender memerah sepi
Sebelum bulan-bulan kemarin, yang serupa menunggu kolam penuh terisi
Dan keharusan angka-angka yang meletakkan sebuah sudut
Angka-angka dimana kesepian mulai berpaut
Semula kecerian hadir dalam sembilan bulan sebelumnya, lalu
Jejak-jejak tertinggal di antara angka-angka yang menghitam
Pergi dan kadang hadir untuk berdandan pada langit kolam
Lalu menghitung satu demi satu angka yang begitu diamkan segala masa
Sementara keributan bersandar di dinding kolam, lumut-lumut mulai mengajak
Bersenda pada wajah yang sedang berdandan
Dan oktober memerah sepi, tergeletak
Di antara kolam yang riak penuh kepalsuan
Dan kubiarkan kodok menjadi separuh hidupnya
Melenyapkan sepi, melepas sunyi lalu menabur bahagia
Di taman yang belum direstui, dikau
Serupa desir pasir hilang di bibir pulau
Hanya saat ini kedamaian berada ditangan dewi samudra
Yang mengembalikan ombak menjadi ada dan tiada
MALAM DI KOTA KARYA
Semula aku ingin menutup rangkuman dari kilas kota kecil, bermalam sendiri, hingga musik mulai terhenti
Kemudian aku berjalan, sejajar dengan roda-roda becak yang berputar pelan
Langkah awan menyiumi jidat-jidat penyair jalanan
Sesekali tumbuh jiwa-jiwa yang kerdil, lalu melepas dan menyimak arah awan pergi
Ketika semua terasa mengambang, jatuh pelan di pot-pot kayu, aku sendiri
Bercerita pada rak buku yang memandang pedih, lalu aku sesekali
mendengar jam mengatakan malam merangkak pagi
Dan kusimak awan, pot-pot kayu pada malam
Mungkinkah aku harus menyinggung dan menyudahi
Atau memang aku sudah digenggam dan terhenti ketika pagi?
Lalu kenapa mereka tak mendiamkan jarum emas di balik jam kristal kuno itu?
Apa aku harus berjalan lalu menyimak awan
Yang mengatakan, kau telah digenangi jiwa-jiwa kerdil?
OKTOBER MEMERAH SEPI
Oktober, kalender memerah sepi
Sebelum bulan-bulan kemarin, yang serupa menunggu kolam penuh terisi
Dan keharusan angka-angka yang meletakkan sebuah sudut
Angka-angka dimana kesepian mulai berpaut
Semula kecerian hadir dalam sembilan bulan sebelumnya, lalu
Jejak-jejak tertinggal di antara angka-angka yang menghitam
Pergi dan kadang hadir untuk berdandan pada langit kolam
Lalu menghitung satu demi satu angka yang begitu diamkan segala masa
Sementara keributan bersandar di dinding kolam, lumut-lumut mulai mengajak
Bersenda pada wajah yang sedang berdandan
Dan oktober memerah sepi, tergeletak
Di antara kolam yang riak penuh kepalsuan